Sapta Darma: Ajaran Mulia dari Bumi Jawa

            Pada hari Minggu sore, sekitar pukul 15:00, saya tiba di Sanggar Kerokhanian Sapta Darma. Gedungnya agak “tersembunyi” di sebuah gang di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, tapi bentuknya yang khas serta cat warna hijauya yang terang membuat saya seketika ngeh bahwa ini adalah tempat yang saya cari-cari ketika saya melewati bangunan tersebut.

Sanggar ini adalah tempat beribadah bagi umat pengikut agama Sapta Darma, sebuah agama yang “asli” berasal dari Tanah Jawa. “Ya kalau dibandingkan dengan agama-agama lain, Sapta Darma memang usianya belum lama” ujar bapak Darmo, seorang umat yang menyempatkan dirinya untuk diwawancara saat saya mengunjungi Sanggar Kerokhanian.

Saya pertama kali mengenal eksistensi agama Sapta Darma ketika saya menonton sebuah Seminar Online yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra sekitar 3 tahun lalu. Seminar tersebut bertajuk “Eksistensi dan Kontribusi Kepercayaan Sapta Darma dan Kejawen Maneges terhadap Pluralitas Agama di Indonesia”, dan terdapat 2 pembicara dari masing-masing agama tersebut.

Agama Sapta Darma bermula di sebuah kecamatan bernama Pare, yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pada dini hari Jumat Wage, tanggal 27 Desember 1952, seorang pria bernama Harjosapuro menerima Wahyu dari Yang Maha Kuasa. Intisari dari Ajaran yang diturunkan adalah Wewarah Tujuh, yaitu 7 hal yang wajib dilaksanakan bagi umat yang mengikuti agama tersebut:

1.    Setia kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa dan Maha Langgeng,

2.     Setia menjalankan perundang-undangan yang berlaku di negaranya,

3.     Turut serta membela Nusa dan Bangsanya,

4.     Menolong siapa pun tanpa pamrih,

5.     Berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri,

6.     Bersikap susila dan berbudi pekerti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat,

7.     Meyakini bahwa dunia tidak abadi dan selalu berubah.

“Yang penting adalah bahwa di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus bersinar bagaikan matahari. Itulah Sesanti (semboyan) kami” ucap Pak Darmo. Beliau menjelaskan kepada saya bahwa ajaran-ajaran tersebutlah yang dipegang erat oleh umatnya, tidak ada macam “Kitab Suci” seperti pada agama lain. “Ketika saudara-saudari dari agama lain bertanya, siapa Nabimu, apa Kitab Sucimu? Mereka agak heran ketika saya menunjukkan buku petunjuk melakukan Sujud. Tidak ada Kitab Suci yang membabarkan cerita-cerita ataupun teks-teks yang panjang. Yang penting umat menjalankan Wewarah Tujuh”.

Lantas, apa itu Sujud? Sujud adalah ibadah utama yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Sapta Darma minimal sehari sekali. Umat menghadap ke arah timur dan bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Ritual ini bisa dilakukan oleh warga di dalam rumah masing-masing, atau dilakukan secara bersamaan seperti di Sanggar Kerokhanian.

Interior Sanggar

Pak Darmo menjelaskan bahwa umat rutin berkumpul di Sanggar untuk melakukan sujud bersama pada hari-hari tertentu, seperti pada Jumat Wage (hari ketika Wahyu diturunkan) serta pada Jumat Kliwon. Saat itu, timbul pertanyaan di benak pikiran saya: apabila pada hari-hari tersebut banyak umat yang berkumpul untuk melakukan sujud bersama, mengapa hanya ada satu Sanggar saja di Jakarta? Adakah Sanggar-Sanggar lain?

Pak Darmo menjawab bahwa sebenarnya, ada Sanggar-Sanggar lain yang “tidak resmi” yang tersebar di seluruh daerah Jabodetabek. Namun satu-satunya Sanggar yang resmi dan diakui oleh pemerintah hanya yang di Tanjung Priok. Saya menyayangkan hal tersebut, tentu kondisi ini tidak lepas dari stigma masyarakat Indonesia terhadap agama-agama lokal seperti Sapta Darma. Akan tetapi, Pak Darmo menjelaskan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, kondisi semakin membaik. “Zaman dulu kegiatan sujud pun dipersulit, sampai harus dijaga polisi”, ucapnya.

Dulu, kolom “Agama” pada KTP umat Sapta Darma terpaksa dikosongkan atau diberikan strip, dan hal tersebut mempersulit kegiatan sehari-hari, terutama dalam hal birokrasi. Bahkan dulu umat sering dikenakan stigma sebagai orang yang “tidak beragama” karena hal tersebut. Kini, eksistensi umat Sapta Darma diakui keberadaannya oleh pemerintah dan sudah lebih mudah untuk menjalankan ibadahnya. Sekarang umat diperbolehkan mengisi “Penghayat Kepercayaan” pada kolom Agama di KTP.

Akan tetapi, cita-cita Pak Darmo dan umat Sapta Darma adalah bahwa ajaran mereka tidak hanya diakui sebagai sekedar “kepercayaan”, namun sebagai Agama. “Semoga suatu hari, di kolom Agama KTP bisa tertulis Sapta Darma”, ujar Pak Darmo. Beliau menilai bahwa ajaran Sapta Darma layak untuk diperlakukan sama seperti Agama-Agama yang lain, terlebih karena Sapta Darma merupakan Agama yang Asli diwahyukan di Indonesia. Umatnya tersebar di pulau Jawa, Bali dan bahkan sampai ke negara Suriname. “Anak-anak kita belajar membaca dan menulis dalam huruf asing, sedangkan aksara Jawa bayak yang sudah tidak mempelajari”, kata Pak Darmo.

Kontribusi Sapta Darma terhadap pelestarian dan pengembangan Budaya Jawa patut dibanggakan. Hari Raya umat Sapta Darma adalah Tahun Baru 1 Suro, yang biasanya dirayakan dengan pagelaran Wayang Kulit. Di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), setiap 1 Suro diadakan pentas Wayang Kulit yang diselenggarakan oleh umat Sapta Darma.

Umat selalu berusaha untuk Uri-uri Budaya Jawi (melestarikan budaya Jawa) karena ajarannya diwahyukan di Bumi Jawa dan aslinya diajarkan dalam Bahasa Jawa. Sesanti Sapta Darma dalam dialek Bahasa Jawa berbunyi: Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara, yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus bersinar bagaikan matahari”. Marilah kita bercontoh pada warga Sapta Darma, dengan iman dan kepercayaan kita masing-masing, kita harus selalu saling membantu dan melestarikan warisan budaya kita semua.

Foto-foto kegiatan di Sanggar

Spanduk 1 Suro di Sanggar

Comments

  1. Terimakasih salam Waras 🙏
    Semoga artikel ini bermanfaat untuk semua umat.
    Sekiranya ada waktu kita selalu meluangkan waktunya... untuk sharing dan berbagi...!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Vihara Siripada: Tempat Ibadah Multietnis yang berkembang pesat