Vihara Siripada: Tempat Ibadah Multietnis yang berkembang pesat
“Di sini tempatnya ya nak, nanti sore Bapak jemput kamu lagi”, ucap ayah saya ketika mengantarkan saya ke depan vihara. Saat itu, pada taun 2017, adalah pertama kalinya saya mengunjugi Vihara Siripada yang beralamat di daerah Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Kesan pertama yang terlintas adalah betapa indahnya gapura pintu gerbang kawasan vihara yang bermotif stupa, seperti pada Candi Borobudur di Jawa Tengah.
![]() |
Gapura Vihara Siripada yang bermotif stupa Borobudur, dilihat dari dalam vihara |
Walaupun saya sebenarnya berasal dari Tangerang Selatan, pada masa itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa S1 di sebuah universitas di Yogyakarta. Saya sudah cukup sering berkunjung dan beribadah di Candi Borobudur yang lokasinya hanya 1 jam perjalanan dari kota Jogja, tapi saya sangat terkesan ketika melihat adanya vihara di “kampung halaman” saya yang ternyata bernuansa seperti di Jawa Tengah.
7 tahun kemudian, pada suatu hari di bulan Juni tahun 2024, saya memutuskan untuk mengunjungi kembali vihara nan indah tersebut. Betapa kagetnya ketika saya menemukan banyak sekali dilakukan renovasi dan pembangunan struktur-struktur baru di vihara.
“Betul mas, selama beberapa tahun ini saya yang ditugaskan untuk membangun struktur-struktur vihara, seperti pendhopo, kuti bhikkhu, wisma meditasi, dan sekarang sedang dibangun aula yang berlantai 3”, kata Pak Munawir saat saya mewawancarainya. Ia menjelaskan bahwa beberapa tahun ini, pembangunan di vihara sangat pesat. Dan yang lebih menarik adalah bahwa Pak Munawir beragama Islam, namun hal tersebut tidak menjadi kendala baginya untuk membangun rumah ibadah agama lain. “Yang namanya membangun rumah ibadah, mas, itu adalah hal yang baik, dari agama manapun”. Ia berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, namun ia sudah ditugaskan ke seluruh pulau Jawa untuk membangun Masjid, Gereja, dan sekarang, Vihara.
![]() |
Buddha Rupang (Patung Buddha) dan altar yang terletak di pendhopo yang baru dibangun beberapa tahun lalu di Vihara Siripada |
Pak Munawir bukan satu-satunya orang Jawa yang berada di vihara ketika saya berkunjung. Saya juga berjumpa dengan Mbak Kus, seorang wanita yang berasal dari sebuah desa yang mayoritas Buddhis di Jepara, Jawa Tengah. Beliau, suaminya, anaknya dan keponakannya sedang tinggal di vihara untuk menjaganya dan mengurus kebutuhan sehari-hari vihara. “Nggih koh, kulo asli saking Jepara. Mungkin koko kenal sami Mas Ngasiran? Kulo satu desa”, (Iya koh, saya asli dari Jepara. Mungkin koko kenal sama Mas Ngasiran? Saya satu desa) tutur Mbak Kus dalam Bahasa Jawa. Betapa sempitnya dunia ini, karena saya memang tahu tentang Mas Ngasiran. Ia adalah ketua Buddhazine, sebuah situs berita Buddhis yang terkenal.
Sembari saya berbicara dengan Mbak Kus, saya melihat anaknya dan keponakannya sedang bermain dengan seorang Samanera yang kebetulan sedang singgah di Vihara Siripada. Dalam Buddhisme, seorang biarawan yang sudah ditahbiskan dan menjalankan kehidupan rohani dinamakan Bhikkhu/Bhikshu. Namun, sebelum ia dapat ditahbiskan secara penuh, seorang calon bhikkhu harus menjalani masa pelatihan terlebih dahulu. Orang-orang tersebutlah yang dinamakan Samanera. Saya pun mengajak Samanera untuk berbincang.
Beliau bernama Samanera Lankaravasso, dan beliau berasal dari pulau Lombok. Samanera tampak muda, mungkin seumuran dengan saya. Beliau bercerita bahwa ini adalah pertama kalinya ia mengunjungi Tangerang Selatan serta Jakarta, dan suasananya yang metropolitan sangat jauh berbeda dengan desanya di Lombok. Samanera berasal dari sebuah desa Sasak yang mayoritas Buddhis, yang terletak pada lereng gunung di Lombok Utara. “Selama masa menjelang bulan Waisak, saya ditugaskan oleh Sangha Theravada Indonesia untuk singgah di berbagai vihara di Indonesia. Minggu lalu saya dari Medan, sekarang singgah di Tangerang Selatan, minggu depan saya akan ke vihara lain” ucap beliau.
Lantas, saya mengucapkan terima kasih kepada Samanera atas jasanya dalam membina dan mendidik umat Buddhis di seluruh Indonesia, dan beliau menjawab: “ini kan simbiosis mutualisme, umat awam memberikan Bhikkhu dan Samanera makanan, tempat singgah dan obat, sedangkan kami memberikan bimbingan dan pelajaran spiritual bagi umat” sambil tertawa. Beliau tampak sangat ceria, yang mungkin disebabkan oleh pelepasannya terhadap hal-hal duniawi sebagai seorang Samanera. Maka tak heran jika anak dan keponakan dari Mbak Kus sangat senang bermain dengan beliau.
![]() |
Samanera Lankaravasso bermain dengan anak dan keponakannya Mbak Kus di area sekitar kolam di Vihara |
Selain dengan Samanera, saya juga berkesempatan untuk ngobrol dengan Peter, seorang pemuda vihara yang aktif sebagai pengurus Puja Bakti di vihara. “Di sini ada Kebaktian rutin setiap hari Minggu jam 9 pagi koh, dan ada juga Kebaktian Muda-mudi setiap Jumat jam 7:15 malam koh. Kalau hari Sabtu jam 3 sore kita ada meditasi bersama” katanya. Dengan kondisi Dhammasala (ruang puja bakti) yang asri dan besar setelah direnovasi, saya terbayang bahwa jumlah umat yang rutin datang ke vihara pastilah sangat banyak. Tentu, ini semua merupakan perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan sejarah asal mula vihara ini.
Vihara Siripada berdiri pada tahun 1987 sebagai rumah ibadah kecil, yang pada saat itu berada di kawasan persawahan. Awalnya, hanya ada sekitar 15 umat Cina Benteng dari daerah Pondok Jagung yang rela berkumpul rutin menggunakan obor untuk beribadah. Akan tetapi, dikit demi sedikit, dan seiring berjalannya waktu, Vihara Siripada semakin berkembang. Umat bertambah banyak, tanah bertambah luas, dan bangunan beton didirikan berkat para donatur yang baik hati.
Setelah berdiri hampir 40 tahun yang lalu, kini Vihara Siripada berdiri megah dan kokoh. Daerah yang dulunya persawahan sekarang menjadi jalan raya utama yang menghubungkan kawasan BSD dengan Alam Sutera. Vihara tidak hanya melayani umat yang tinggal di daerah sekitar, namun juga banyak tamu yang datang dari seluruh Nusantara. Hal tersebut bisa dilihat dari keberagaman etnis dari umat dan rohaniawan vihara ini, yakni Cina Benteng, Jawa dan Sasak. “Kemarin pas Waisak sampai penuh membeludak koh, semoga aula vihara bisa cepat selesai pembangunannya supaya bisa menampung semua umat” kata Mbak Kus ketika saya bertanya tentang aula baru vihara yang sedang dibangun.
Dengan ini, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Bhikkhu, Samanera, dan segenap umat Vihara Siripada yang sudah memberikan saya kesempatan untuk berkunjung dan wawancara. Semoga vihara terus berkembang, dan semoga Buddha Dharma terus lestari.
“Sabbapāpassa akaraṇaṃ,
kusalassa upasampadā;
Sacitta pariyo dapanaṃ,
etaṃ buddhāna sāsanaṃ“
(Dhammapada 188)
Yang dalam Bahasa Indonesia berarti:
"Menjauhi segala perbuatan dan pikiran buruk,
Meningkatkan perbuatan dan pikiran yang baik,
Dan mengendalikan hati dan pikiran,
Inilah ajaran Para Buddha"
![]() |
Salah satu Arca yang baru dibangun di Vihara Siripada, menggambarkan ketika Buddha turun dari Surga Tavatimsa setelah mengajarkan Abhidhamma kepada Para Dewa |
Comments
Post a Comment